Blackberry, Facebook dan Hancurnya Peradaban Membaca

 

blackberry

Hari-hari ini masyarakat kelas menengah di tanah air – terutama di kota-kota besar – tengah menggandrungi dua digital medium yang amat populer : Blackberry dan Facebook. Dua medium ini tampaknya kian merasuk menjadi life style baru bagi para generasi digital kota metropolitan. Barangkali ia juga sekaligus menjadi simbol kemutakhiran masa kini.

Namun bagi para pecandu buku seperti saya, kehadiran gadget semacam Blackberry dan media semacam Facebook selalu merupakan sebuah distraction. Kehadiran medium digital semacam itu selalu “memaksa” kita untuk always on dan always connected, dan diam-diam itu artinya merasampas waktu berharga kita untuk melakukan “permenungan”, melakukan kontemplasi, melakukan proses membaca buku yang membutuhkan kedalaman dan keheningan.

Kehadiran gadget keren semacam Blackberry dan sejenisnya pada akhirnya mungkin tergelincir hanya menjadi sekedar simbol status. Ia menjadi penanda penting yang mencoba menjelaskan status sosial kita. Tak lebih tak kurang. Di negara yang peradaban pengetahuannya lebih maju, pendanda status sosial itu adalah buku. You ARE what you READ. Buku dan tradisi membaca yang kuat selalu menjadi elemen penting bagi hadirnya sebuah peradaban yang digdaya. Disini, kredibilitas orang dilihat dari seberapa luas pengetahuan mereka, sebapa banyak buku yang telah direngkuh, dan seberapa mendalam wawasan berpikir mereka.

Di tanah air yang terjadi adalah parodi : kredibilitas kita acap ditentukan oleh seberapa canggih gadget yang kita miliki, dan seberapa keren merek smartphone yang kita tenteng. Bagi saya ini adalah sebuah parodi yang penuh petaka. Sebab anak muda yang selalu menenteng Blackberry-nya kemana-mana sebagai simbol status, namun hampir tak pernah mau membaca buku, bagi saya sama primitifnya dengan orang udik di pedalaman nun jauh disana. Secara fisik mereka mungkin lebih keren (iya sih, pake Blackberry kan keren!), namun tanpa disertai dengan budaya membaca membaca yang kuat, level pengetahuan dan wawasan mereka mungkin sama dangkalnya dengan penjual kambing di pinggir jalananan…..

Facebook juga sama. Oke, mungkin disini kita bisa menjalin silaturahmi dengan teman-teman lama kita (atau mungkin juga dengan bekas pacar semasa kita sekolah SMA dulu). Tapi selebihnya, yang ada di Facebook adalah kedangkalan. Yang ada melulu celotehan-celotehan pendek nan dangkal dan bising. Disana kita jarang menemukan kedalaman yang bisa mendorong kita untuk melakukan proses berpikir secara kontemplatif (karena itu bagi Anda yang belum memiliki akun di FB, silakan untuk tidak mendaftarnya; kecuali jika Anda hanya ingin wasting your time).

Pada akhirnya, Facebook mungkin sama sekali tak berbeda dengan kerumunan di pasar Gunungkidul atau terminal bis Pulogadung : sebuah tempat dimana orang saling ngobrol ngalor ngidul tanpa jelas juntrungannya. Medianya saja kelihatannya keren (wah hari gini, di jaman digital begini, elo belum jadi member facebook, begitu kata seorang teman), namun esensi Facebook sebenarnya tak lebih beda dengan terminal bis Pulogadung : bising, penuh celoteh dangkal, dan disana kita kita tak menemukan keheningan yang mengajak kita berpikir secara mendalam.

Begitulah, kehadiran dua media digital ini – Blackberry dan Facebook – mungkin diam-diam telah merampas waktu berharga kita untuk membaca buku dengan penuh ketekunan. Tanpa terasa kita mungkin telah menjadi addicted dengan kedua medium itu. Kita rela menghabiskan berjam-jam waktu kita untuk ber-blackberry atau ber-facebook-ria. Kita mencurahkan begitu banyak waktu untuk mengulik gadget Blackberry kesayangan kita, atau juga berceloteh dengan friends kita di belantara Facebook. Dan diam-diam, kita kian lupa dengan buku-buku bermutu yang teronggok tak berdaya…..

Kebesaran sebuah bangsa selalu ditopang oleh peradaban membaca yang kuat dan tekun. Ikhtiar kita untuk membangun tradisi membaca yang kokoh seperti pecah berkeping-keping dihempas oleh kehadiran “blackberry and facebook culture” yang penuh kedangkalan. Kedua medium ini telah merenggut waktu dan gairah dari jutaan kaum muda di tanah air untuk tekun membaca deretan buku bermutu.

Dan dengan itu, Blackberry dan Facebook sejatinya telah melakukan apa yang saya sebut sebagai “digital colonization” : diam-diam mereka telah menjajah pikiran kita, dan secara perlahan mereka telah membunuh gairah masyarakat tanah air untuk membangun tradisi membaca yang tangguh dan penuh ketekunan.

sumber : http://strategimanajemen.net/2009/03/16/blackberry-facebook-dan-hancurnya-peradaban-membaca/