Suatu waktu seorang ulama ternama, Abdullah bin Mubarak bermimpi saat dia tertidur di dekat Ka’bah. Dalam mimpinya Abdullah bin Mubarak melihat dua malaikat turun dari langit lalu berbicara satu sama lain. Malaikat yang satu bertanya, “Tahukah kamu berapa banyak orang yang datang untuk beribadah haji tahun ini?” Malaikat lainnya menjawab, “Enam ratus ribu orang.” Abdullah bin Mubarak sendiri juga termasuk yang pergi haji di tahun itu. Malaikat pertama tadi bertanya lagi, “Berapa banyak di antara orang yang pergi haji ini diterima hajinya?”
Malaikat kedua kembali menjawab, “Aku kira tidak ada satupun yang diterima hajinya.” Mendengar itu Abdullah Mubarak sangat gundah. Dia merenung, “Begitu banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru dunia dengan menempuh bermacam rintangan seperti sungai, gunung, lautan, dan hutan, juga harus menghadapi beragam kesulitan, serta menghabiskan banyak uang, tapi akankah semua usaha mereka ini sia-sia? Tidak, Allah selalu akan menghargai setiap usaha manusia. Ketika dia masih memikirkan itu, dia mendengar malaikat yang satu berkata, ”Di Damaskus ada seorang tukang sepatu yang bernama Ali bin Al-Mufiq. Laki-laki tidak jadi menjalankan ibadah haji, tetapi Allah menerima niat hajinya.
Bahkan bukan pahala haji saja yang dia terima melainkan karena dia jugalah semua yang melaksanakan ibadah haji itu mendapatkan pahalanya”. Begitu terbangun Abdullah Mubarak memutuskan untuk pergi ke Damaskus dan menemui si tukang sepatu yang niat hajinya telah mendapat ganjaran begitu besar tersebut. Setibanya di Damaskus Abdullah bin Mubarak bertanya tentang seorang tukang sepatu yang bernama Ali bin al-Mufiq. Orang-orang di kota itu mengarahkannya ke sebuah rumah. Ketika tiba di rumah itu muncullah seorang laki-laki. Abdullah bin Mubarak menyalaminya dan menanyakan namanya. Laki-laki itu menjawab, ”Ali al-Mufiq”. Abdullah bin Mubarak bertanya lagi, ”Apa usahamu untuk memenuhi kebutuhan hidupmu?” Laki-laki itu kembali menjawab, ”Aku ini seorang tukang sepatu”. Lalu Ali al-Mufiq pun menanyakan nama orang asing yang baru menemuinya itu.
Abdullah bin Mubarak ini adalah seorang ulama yang sangat terkenal di zamannya sehingga ketika dia memperkenalkan dirinya, si tukang sepatu ini sangat kebingungan; mengapa ulama ternama ini mencarinya. Ketika Abdullah bin Mubarak meminta Ali al-Mufiq mengatakan kepadanya apakah dia pernah berencana untuk berangkat haji, Ali al-Mufiq pun berkata, ”Sudah tiga puluh tahun aku mendambakan untuk berangkat haji, dan baru tahun ini tabunganku cukup untuk melaksanakannya, tapi rupanya belum diperkenankan Allah, sehingga akupun belum dapat memenuhi niatku. Abdullah bin Mubarak penasaran, bagaimana hajinya orang ini bisa diterima bahkan dapat memberkahi semua orang yang beribadah haji di tahun itu sementara dia sendiri tidak melaksanakannya? Selama perbincangan dengan tukang sepatu itu Abdullah bin Mubarak dapat merasakan ketulusan hatinya.
Islam memang memandang kemuliaan bukan dari harta atau kekuasaan, melainkan dari rasa rendah hati, sikap yang baik, dan hati yang bersih. Abdullah bin Mubarak bertanya lebih jauh lagi, ”Mengapa kamu tidak jadi berangkat haji?” Ali tetap menghindar untuk menyebutkan alasannya dan hanya menjawab, ”Itu sudah kehendak Allah.” Namun ketika Abdullah bin Mubarak tetap bersikukuh, Ali pun menjelaskannya, ”Satu waktu aku mengunjungi tetanggaku, di dalam rumahnya nampak anggota keluarga sedang duduk berkeliling layaknya bersiap untuk makan malam.
Walaupun aku tidak lapar, aku tetap mengira tetanggaku akan berbasa-basi mengajakku makan. Tapi kuperhatikan tetanggaku seperti sedang merisaukan sesuatu dan berusaha menghindar untuk mengajakku makan. Setelah berkurang keraguannya, dia berkata kepadaku, ‘Mohon maaf, aku tidak bisa mengajakmu makan. Sudah tiga hari ini kami tidak mendapatkan apapun untuk dimakan, aku sudah tidak kuat lagi melihat anak-anakku menjerit menahan lapar.
Lalu aku keluar mencari apa saja yang dapat menghentikan jerit tangis mereka. Kutemukan seekor keledai mati. Aku sudah kalap, dengan nekat kupotong sebagian daging dari hewan yang sudah mati itu, kubawa pulang dan langsung dimasak oleh istriku. Bagi kami daging ini halal, karena kami sangat-sangat lapar. Tapi aku tidak boleh menawarkannya kepadamu.” Ali tercekat, lalu melanjutkan, ”Hatiku menjerit perih mendengarnya. Langsung aku bangkit dan terus pulang ke rumah, kuambil uang tabungan tiga ribu dinar yang sudah kusiapkan untuk berangkat haji itu dan kuberikan semuanya kepada tetanggaku yang sedang kelaparan tersebut.
Aku sendiri juga sering menahan lapar agar dapat menabung uang untuk berangkat haji tahun ini, tapi aku yakin, menolong tetangga yang sedang mengalami masa sulit sedemikian itu jauh lebih penting. Walaupun demikian aku tetap berkeinginan untuk berangkat haji nanti jika diperkenankan Allah.” Abdullah bin Mubarak merasa sangat tergugah dengan cerita si tukang sepatu. Diapun menceritakan mimpinya kepada si tukang sepatu tersebut.
Allah itu Maha Pengasih dan akan menunjukkan kepengasihannya kepada siapa saja yang mengasihi makhluk-makhlukNya. Apa yang dilakukan oleh si tukang sepatu tadi telah membuat Allah sangat senang, sehingga bukan dia saja yang Allah anugerahi pahala Haji, melainkan semua yang berhaji pada tahun itu Allah terima hajinya karena kebaikan yang dilakukan oleh si tukang sepatu tadi. Ibadah haji adalah suatu perjalanan yang dapat memacu jiwa untuk selalu ingat dengan waktu ketika ruh itu diciptakan, yang kemudian membawanya melampaui dimensi kehidupan ini hingga tiba pada waktu ruh ini berjumpa dengan Penciptanya. Pelaksanaan haji yang tulus akan menggiring seseorang untuk menjalani kehidupan sehari-harinya dengan kebangkitan spiritual yang sangat tinggi. Pengalaman haji yang sukses akan selalu menghubungkannya kepada Sang Pencipta dan akan meningkatkan rasa kasih sayangnya kepada sesama.
sumber : https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/08/seorang-tukang-sepatu/