Google Bisa Atur Pemenang Pilkada?

Maryland's iSchool copyright

Maryland’s iSchool copyright

 

“Google’s search algorithm can easily shift the voting preferences of undecided voters.” — Robert Epstein, senior research psychologist at the American Institute for Behavioral Research & Technology, and the former editor-in-chief of Psychology Today

Hasil riset ini mencengangkan: Algoritma ternyata bisa digunakan untuk mengatur hasil pemilu.

Artinya, siapa yang bakal menang di Pemilu atau Pilkada, ternyata bisa “diubah”, sesuai kemauan yang berkepentingan. Caranya dengan “menyalah-gunakan”fungsi algoritma. Persisnya, dengan cara merekayasa nilai pembobotan di rumus algoritma rahasia. Termasuk kepada algoritma yang digunakan di mesin pencari Google. Atau di platform jejaring perkawanan Facebook. Rekayasa algoritma tersebut, dilakukan dalam kurun waktu tertentu; kepada kelompok khalayak tertentu; yang memang menjadi target bidikan, kepentingan tertentu, untuk dieksploitasi.

Hasil Riset yang dihela dua peneliti American Institute for Behavioral Research and Technology, yakni Robert Epstein dan Ronald E. Robertson tadi juga membuktikan: bahwa pengaruh pengaturan via algoritma tadi, tak cuma berdampak mempengaruhi persepsi pemilih perorangan atau individual. Tapi juga bisa memanipulasi logika kelompok.

Termasuk misalnya digunakan untuk memanipulasi persepsi kelompok swing voters. Menggiring pilihan para undecided people. Dan mendistorsi pilihan kaum floating mass. Agar orientasi pilihan pemilih yang masih ragu tersebut, bisa diarahkan. Dibikin tak sadar, telah memilih kandidat pasangan calon (paslon) tertentu, seperti yang dimaui pihak-pihak yang berkepentingan.

Dugaan pengaturan hasil pemilu yang melibatkan Google, menarik disimak sebagai pelajaran.

Pemilih yang ragu, dikerjain pakai algoritma

Seperti sudah sama diketahui, hasil akhir pemilu, ternyata justru ditentukan oleh pilihan pemilih, yang belum menentukan pilihan. Istilah keren-nya, mereka ini adalah swing voters. Para kaum undecided people. Termasuk kalangan floating mass. Alias kelompok massa mengambang. Yang ragu memilih. Atau yang belum menentukan pilihan. Karena masih bingung.

Menyadari ini, maka demi bisa mengubah hasil pemilu, Google lantas secara khusus membidik para pemilih yang masih ragu tadi.

Terhadap target bidikannya tadi, Google sengaja melakukan rekayasa algoritma. Sehingga timeline jejaring media sosial milik individu dan kelompok target yang dibidik tadi,  kebanjiran informasi distortif. Agar opsi mereka bisa digiring; persepsi mereka diarahkan; dan mereka dipengaruhi, memakai informasi yang telah disortir dan atau dipilihkan. Informasi sortiran tersebut, lebih menonjolkan keunggulan sang kandidat tertentu, yang memang ingin dimenangkan oleh Google.

Dengan cara tersebut –tanpa menyadari telah dimanipulasi–  akhirnya para swing voters ini, akan mengarahkan orientasi pilihannya: memilih opsi pilihan yang (sebenarnya sudah) dipilihkan oleh Google.

Pengaruh para undecided people dalam menentukan hasil akhir pemilu, misalnya terbukti, saat penyelenggaraan Referendum Brexit dan Pemilihan Presiden di AS. Sikap para swing voters ini, disebut-sebut adalah yang menyebabkan dua hajatan pemilu tadi, hasil akhirnya mengejutkan: berlawanan dari dugaan para pakar dan peneliti.

Dalam kasus Brexit, akhirnya British benar-benar exit dari Uni Eropa. Sementara di ajang Pilpres AS, Hillary Clinton yang lebih diunggulkan, justru kalah unggul dari Donald Trump.

Kandidat yang dimenangkan Google adalah yang gaya kepemimpinannya menguntungkan. Atau yang kelak saat sudah menjabat, mau diajak bekerjasama. Untuk mengkondisikan, agar peraturan, ketentuan, atau perundangan yang disahkannya kelak, bisa membuat bisnis Google jadi lebih dominan dan semakin monopolistik. Serta yang mau membantu membuat keuntungan bisnis Google, berlipat-lipat dengan cepat.

Memanfaatkan SEME: Search Engine Manipulation Effect

Cara pemanipulasi hasil pemilu tersebut, popular diistilahkan SEME. Akronim dari the Search Engine Manipulation Effect. Hasil studi tentang bagaimana efek manipulasi algoritma tadi, sudah dimuat di The Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS). Isinya menarik. Bisa menjadi bahan perenungan ke depan.

Pada dasarnya, SEME adalah pemanipulasian algoritma Google, dengan tujuan merekayasa hasil pencarian di search engine. Algoritma diatur sedemikian rupa oleh Google, agar menyortir hanya informasi yang dianggap cocok. Yang dinilai menguntungkan. Atau sesuai dengan tujuan: menguntungkan posisi kandidat tertentu. Dan membuatnya lebih berpeluang untuk menang.

Yang mengagetkan, potensi pemanfaatan algoritma untuk mengatur hasil akhir pemilu, ternyata bukan sekadar teori. Bukan cuma wacana. Tapi benar-benar sudah kejadian.

Para peneliti meyakini itu, ketika melakukan kajian atas hasil pemilu di India tahun 2014. Di ajang itu, Narendra Modi, terpilih menjadi Perdana Menteri India. Hasil temuan studi tersebut mencengangkan: patut  diduga, pemilu India 2014, melibatkan manipulasi via SEME.

Silakan singgahi link ini untuk memeriksanya. Hasil riset ini, pun menemukan hal senada. Bahwa rekayasa dan manipulasi via SEME terbukti bisa terjadi. Bahkan, jangan-jangan, selama ini, hal tersebut sudah pernah terjadi di berbagai tempat (?!). Who knows?.

Khalayak dimanipulasi via 3M: Media-Money-Machine

Seperti sama diketahui, bahwa cara otoritas/pihak berkepentingan bisa mudah mempengaruhi persepsi khalayak adalah dengan memanfaatkan efek 3M: media, money dan machine.

Contoh “penggunaan media” untuk tujuan mempengaruhi fikiran, opini, persepsi khalayak, adalah seperti yang sedang sekarang sedang terjadi.

Saat ini, baik Media maupun media (dianggap) telah saling menyebar-luaskan berita bohong, hoax, dan isu pelintiran. Tujuannya untuk memanipulasi persepsi publik. Agar khalayak menjadi apriori. Menciptakan sentimen negatif. Atau demi mengeksploitasi dan mendiskriminasi kredibilitas paslon tertentu.

Tak pelak, gara-gara makin liarnya peredaran hoax, audiens pun jadi gaduh. Masyarakat dibuat bingung: sulit membedakan, mana yang benar, dari banyak versi kebenaran, yang saling mengklaim paling benar.  Bahkan kredibilitas otoritas pun ikut rusak. Bahkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah cenderung semakin memburuk.

Sementara contoh penggunaan unsur money, atau duit, untuk mempengaruhi persepsi khalayak, adalah terkait praktik money politic. Termasuk yang berupa aksi “serangan fajar”. Yang konon berlangsung jelang hari pencoblosan.

Unsur money dalam upaya mempengaruhi persepsi khalayak, juga bisa diendus dari maraknya aktivitas endorser berbayar, pasukan buzzer, bahkan pengerahan cyber army. Terutama dalam situasi seperti sekarang. Ketika jadwal Pilkada semakin mendekat.

Nah cara ketiga, yakni mempengaruhi khalayak dengan menggunakan “mesin”, memang terbilang baru. Setidaknya, masih belum banyak yang menyadari. Bahwa logika alogritma mesin, kini sudah semakin mengontrol, menyetir, mendiskriminasi, bahkan menguasai kehendak bebas manusia.

Efek algoritma sifatnya mendiskriminasi. Maksudnya, secara apriori, algoritma berfungsi menyortir, menapis, memfilter dan memilihkan, hanya informasi yang (dianggap oleh logika mesin) cocok, relevan dan punya koneksi kontekstual saja. Yang lainnya, diabaikan. Dianggap gak penting. Keragaman dinafikan. Tolerani atas sisi unik dari perbedaan, diingkari.

Hasil studi tentang efek diskriminasi oleh algoritma ini, mungkin bisa memberi perspektif latar pemahaman. Link berjudul Google Image Results Can Shift Gender Biases ini, juga bisa menjadi pelengkap pemahaman.

Ini tiga skenario Google untuk mempengaruhi hasil akhir pemilu

Skenario pertama, dengan memanfaatkan posisi Google yang memonopoli industri media, telekomunikasi dan teknolgi informasi. Termasuk di Indonesia.

Akibat posisinya tadi, Google menjadi punya bargaining position tinggi. Bisa mem-fait a compli, menggertak, bahkan memaksakan kehendaknya, secara sepihak.

Sulitnya direktorat jenderal pajak untuk mendisplinkan Google terkait kewajiban pajak yang belum mereka tunaikan, cuma menggambarkan sedikit bagian saja dari ekses ketimpangan posisi tawar tersebut.

Pengaruh lebih jauh dari Google tampaknya juga sulit dicegah. Studi American Institute for Behavioral Research & Technology menemukan, diduga Google melebarkan pengaruhnya, dengan cara main duit: memberi suap, menyogok, mengiming-imingi gratifikasi, atau fasilitas kesenangan, kepada pemegang keputusan dan yang di tampuk kekuasaan.

Skenario kedua, adalah dengan Google menyadap, memata-matai, atau mengelola informasi user secara ceroboh. Termasuk berpura-pura, tidak sengaja, telah membocorkan data, informasi dan rekaman komunikasi, milik kandidat pesaing.

Sedemikian rupa itu dilakukan secara diam-diam, sehingga pasangan calon yang disokong Google, akhirnya posisinya diuntungkan. Menjadi lebih unggul di mata khalayak. Skor elektabilitas dan favoritismenya bagus. Dan akhirnya dianggap layak menang berkompetisi, atau terpilih di pemilu.

Nah skenario yang terakhir, adalah yang dampaknya paling mengerikan: melalui rekayasa algoritma.

Buku The Circle: pengaruh Google di Pemerintahan akan semakin dominan

Selain lebih sulit dicegah, pengaturan hasil pemilu via rekayasa algoritma, sifatnya nyaris tak terelakkan. Pun dibanding dua skenario sebelumnya, yang ini paling menimbulkan kerusakan atas mutu demokrasi.

Misalnya ini eksesnya: menjadikan kandidat yang sebenarnya tak layak menjabat dan memimpin, justru skor-nya paling unggul dalam pemilu. Seakan-akan memang layak menang. Karena murni disokong segenap konstituen. Seakan karena disukai, difavoritkan. Dianggap kapasitas dan kapabilitasnya mumpuni. Sehingga dipilih dan dijadikan pemimpin atas kehendak masyarakat.

Akibat sedemikian powerful-nya algoritma, sampai-sampai, makna “demokrasi”, kini semakin tereduksi. Kini demokrasi di era digital, dimaknai sekadar: pertarungan mesin melawan mesin.  Robot versus Robot.

Bukan ajang kompetisi ide; bukan sarana untuk belajar toleransi; bukan wadah pendewasaan diri menyikapi perbedaan; pun bukan pula ruang ujian atas idealisme para kandidat –agar khalayak bisa membandingkan mana yang lebih aspiratif dan pro-audiens; apalagi gelanggang untuk memperjuangkan aspirasi dan kehendak khalayak.

Buku berjudul The Circlesecara menarik, mengulas fenomena makin dominan dan determinannya peran algoritma Google, kini dan ke depan.

Dave Eggers, penulisnya, mengurai di bukunya, bahwa Google ke depan akan semakin mampu. Atau, segera akan, mengambil peran dominan dalam perpolitikan.

Bahwa Google telah berkontribusi; bisa membentuk; dan mampu mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah. Bahkan ikut menentukan arah politik di level negara-bangsa. Di tempat mana pun, di pemerintahan yang dipimpin siapa pun, di seluruh dunia. Termasuk di Amerika sendiri.

Makanya jangan heran, bagi sebagian pihak, gosip dan spekulasi, bahwa Google ikut menyebabkan Donald Trump bisa memenangi Pilpres di AS, dinilai punya landasan dan argumen masuk akal.

Apakah benar begitu? Wallahu a’lam bish-shawabi

Kabar buruk: kejahatan via Algoritma sulit dilacak, sulit dicegah

Yang bikin bergidik, “operasi rekayasa” Google via algoritma ini, konon berlangsung sangat senyap. Dan sangat tak kasat mata. Makanya sulit dideteksi secara forensik. Apalagi dibuktikan secara legal-formal. Bahkan, sulit dicegah terjadi. Atau tak bisa dielakkan, ketika ada kepentingan yang “memaksakan” melakukan.

Bahkan pasangan calon yang dimenangkan oleh Google pun bisa tak menyadari –apalagi tahu– bahwa dirinya telah direkayasa. Begitu pun, regulator –termasuk pengawas dan penyelenggara pemilu–  akan sulit tahu, apalagi bisa menemukan, bukti kejahatan demokrasi model begini.

Para pemilih pun tak akan merasa sudah dikerjain oleh GoogleKarena mereka saat memilih/mencoblos, merasa keputusan mereka ambil secara mandiri, bebas, dan merdeka. Tanpa terpengaruh siapa-siapa. ‘kan efek manipulasi SEME baru terasa di hasil akhir penghitungan suara?

Pendeknya: Aroma rekayasanya nyata, tapi wujud buktinya tak ada. Praktiknya bikin curiga; kejanggalannya terasa; tapi seperti tak ada apa-apa.

Yang lebih mengerikan lagi, sejauh ini, belum ada satu pun Negara di dunia, yang punya aturan memadai. Yang bisa melarang atau mencegah kemampuan teknologi mesin pintar –seperti yang dimiliki Google, Facebook, atau yang lainnya–  untuk dipakai menjalankan “kejahatan pemilu”, seperti yang dicontohkan tadi.

Problem kepemimpinan hasil Pemilu yang direkayasa: legitimasi & kredibilitasnya jeblog

Yang lantas perlu direnungkan, jika benar kejahatan demokrasi via pengaturan hasil pemilu ke depan semakin mudah dilakukan, maka problem terbesar kepemimpinan masa depan adalah soal legitimasi. Karena, kewibawaan, kredibilitas dan trust kepemimpinan yang dihasilkan dari  Pemilu yang bias, terdistorsi dan direkayasa via mesin-teknologi, pasti buruk sekali.

Konstituen dan khalayak akhirnya cuma bisa menyesali. Kok mau saja mereka digiring, diarahkan dan dimanipulasi. Untuk menggunakan hak pilihnya, dengan memilih pemimpin, yang opsi pilihannya, sebenarnya sudah dipilihkan, oleh kepentingan raksasa, yang menyokong kandidat tertentu, yang ngebet terpilih.

Skenario gelap demokrasi digital yang mengerikan bukan? Sangat. Sangat mencemaskan.

Apakah penyelenggara, pengawas dan pelaksana pemilu dan pilkada sudah mengantisipasinya? Wallahu a’lam bish-shawabi.

Mari berprasangka baik saja.

 

Penulis : kris moerwanto.

sumber : https://kris170845.wordpress.com/2017/01/16/google-bisa-atur-pemenang-pilkada/