Blackberry, Facebook dan Hancurnya Peradaban Membaca
Hari-hari ini masyarakat kelas menengah di tanah air – terutama di kota-kota besar – tengah menggandrungi dua digital medium yang amat populer : Blackberry dan Facebook. Dua medium ini tampaknya kian merasuk menjadi life style baru bagi para generasi digital kota metropolitan. Barangkali ia juga sekaligus menjadi simbol kemutakhiran masa kini.
Namun bagi para pecandu buku seperti saya, kehadiran gadget semacam Blackberry dan media semacam Facebook selalu merupakan sebuah distraction. Kehadiran medium digital semacam itu selalu “memaksa” kita untuk always on dan always connected, dan diam-diam itu artinya merasampas waktu berharga kita untuk melakukan “permenungan”, melakukan kontemplasi, melakukan proses membaca buku yang membutuhkan kedalaman dan keheningan.
Kehadiran gadget keren semacam Blackberry dan sejenisnya pada akhirnya mungkin tergelincir hanya menjadi sekedar simbol status. Ia menjadi penanda penting yang mencoba menjelaskan status sosial kita. Tak lebih tak kurang. Di negara yang peradaban pengetahuannya lebih maju, pendanda status sosial itu adalah buku. You ARE what you READ. Buku dan tradisi membaca yang kuat selalu menjadi elemen penting bagi hadirnya sebuah peradaban yang digdaya. Disini, kredibilitas orang dilihat dari seberapa luas pengetahuan mereka, sebapa banyak buku yang telah direngkuh, dan seberapa mendalam wawasan berpikir mereka.